Kamis, 13 November 2008

Perang, perang, perang...???

Apakah Harus Berperang
(suatu tinjauan etis teologis)

PENDAHULUAN

Adakah sebuah kedamaian di dalam dunia medern seperti saat sekarang ini? Baru-baru ini telah beredar sebuah film singkat yang berjudul “Fitnah” di media internet isinya sungguh mengiris hati, dimana sepanjang film itu mengungkap peristiwa-peristiwa mengenai peperangan dan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun sadar atau tidak sebenarnya film ini sangat kental terasa unsur profokasi untuk melakukan peperangan, dengan kata lain isi film ini ingin mengadu domba antara orang Kristen dan islam lalu bagaimanakah kita harus bersikap atas profokasi dari film ini? Apakah harus berperang, demi membalas sakit hati atau ?. Karya tulis ini ingin menanggapi isu perang yang ditebarkan oleh film “Fitnah” dalam kacamata agama dan etika Kristen ? Adapun di dalamnya akan ikut disajikan, berbagai jenis pendekatan dalam perang? dan apakah sikap orang kristen terhadap isu perang, dan selain itu kita akan coba melihat bagaimana sebenarnya perspektif kerajaan Allah di bumi yang seharusnya diemban oleh orang kristen untuk diusahakan sebagai salah satu jalan keluar dari isu perang. Dan pada bagian akhir akan ditutup dengan refleksi teologis.

1. Isi
1.1 Suatu Pendekatan dalam Perang
Tahukah anda bahwa ternyata perang juga memiliki prosedur atau pendekatan, seperti halnya sebuah penelitian, mungkin orang awam tidak akan mengerti hal ini, apalagi orang yang sedang berperang? Namun ternyata memang ada hal seperti itu salah satu pendekatan dalam perang itu kita sebut dengan “perang suci” (“crusades”), sebenarnya bagaimanakah jenis perang yang seperti ini? Filosofi perang jenis ini ingin untuk menjalankan perang sebagai misi suci atau perintah ilahi. Perang jenis ini ternyata pernah juga dilakukan oeh gereja, yang dilakukan demi membasmi “para penyesat” dan musuh gereja, perang jenis ini juga pernah terjadi untuk merebut kembali Yerusalem dari pendudukan Islam (abad 11,12,13: perang salib). Perang jenis ini dilakukan oleh gereja mungkin karena terinspirasi dari kisah-kisah peperangan dalam Perjanjian Lama, yang mengatasnamakan demi dan bersama Allah. hal ini juga yang mungkin memicu orang-orang muslim untuk melakukan perang atau yang lebih kita kenal dengan nama “Jihad”. Pendekatan perang yang seperti ini ternyata dalam perspektif etika kristen mengabaikan nilai-nilai yang esensial dari injil, dan hal ini juga menunjukkan adanya pergeseran injil oleh pertimbangan politis yang lebih primitif dalam gereja.
Ada lagi jenis pendekatan perang yang lain yaitu [1]“perang adil” (“just war”) pendekatan perang jenis ini membenarkan perang terjadi jika hal itu adalah pilihan terakhir, pendekatan perang jenis ini memiliki syarat sebelum dilakukan yaitu Mempunyai alasan kuat yang berkeadilan (jus ad bellum) dan Menggunakan peralatan dan cara-cara yang adil (jus in bello) dan hasilnya harus dapat diperkirakan. Pendekatan perang jenis ini sebenarnya tidak berasal dari tradisi Kristen namun dari filsafat Yunani (Plato, Aristoteles) yang diawali dari munculnya kebutuhan untuk melindungi negara/kota yang kemudian diteruskan oleh bangsa romawi guna kebutuhan untuk mengendalikan dan mengatur ekspansi kekaisaran. Ada beberapa masalah dalam tradisi perang adil antara lain Bagaimana kalau kriteria “adil” berbeda bagi pihak-pihak yang berperang? Benarkah prospek keberhasilan suatu perang dapat dipastikan? Bagaimana menentukan bahwa kita telah sampai pada pilihan terakhir? Bagaimanakah kesesuaian antara praktik perang adil dengan tema-tema Perjanjian Baru mengenai kemenangan melalui salib, “mengasihi musuh” dsb? Hal inilah yang menimbulkan perdebatan dalam tubuh gereja yang hingga saat ini masih berlangsung.
Apapun jenis pendekatan yang dipakai dalam perang menurut hemat penulis perang tidaklah dapat untuk dibenarkan, karena sejatinya perang selalu menimbulkan pernderitaan disalah satu pihak yang kalah dari peperangan, dampak yang ditimbulkan inilah yang tidak mungkin dapat digantikan dengan hanya sebuah pendekatan terhadap perang, namun bagaimana dengan orang yang mengalami langsung peperangan yang mengalami langsung ketegangan dalam sebuah peperangan seperti contoh kasus perang yang dilakukan oleh Tibo cs, apakah kita berhak untuk menghakimi orang yang berperang tersebut adalah salah? Sejatinya kita tidak berhak untuk menghakimi orang tersebut, karena bagaimanapun juga kita tidak merasakan bagaimana situasi dan keadaan orang tersebut hingga ia memutuskan untuk melakukan perang sebagai jalan keluar dari masalahnya, dan kita juga harus ingat bahwa setiap orang di dunia ini memiliki struktur kemasuk-akalan masing-masing terhadap suatu peristiwa dan kejadian yang tidak bisa dicampuri oleh siapapun. Yang bisa kita beri penilaian adalah peristiwa perang itu sendiri bukan orang yang melakukan perang.

1.2 Sikap orang Kristen terhadap Perang
Setiap agama pada dasarnya mendorong kehidupan yang damai dan menolak Perang serta kekerasan yang selalu tidak pernah dianggap baik. Meskipun demikian perang dan kekerasan harus kita akui sebagai bagian dari realitas kehidupan yang terkadang sukar dielakkan dan pada kenyataanya ternyata agama-agama tidak cukup berhasil untuk menghentikan atau mencegah terjadinya perang dalam kasus-kasus tertentu bahkan agama menjadi faktor pencetus terjadinya peperangan, faktor struktur kebudayaan juga dapat ikut mempengaruhi terjadinya sebuah peperangan, sadarkah kita bahwa sedari kanak-kanak kita sudah dibesarkan dengan struktur kebudayaan yang membanggakan kekerasan dan peperangan, sebagai contoh anak-anak yang gemar bermain permainan “perang-perangan”. Para pemuda dan orang tua yang menggemari film-film peperangan dan yang berbau kekerasan, tradisi “perploncoan” di lembaga pendidikan sebagai wujud dari kekerasan. Lalu bagaimanakah kita selaku orang Kristen bersikap terhadap kenyataan ini?
[2]Sikap umum yang sering dipertahankan oleh orang Kristen untuk menyikapi perihal perang ini yaitu “Paham Pasifisme” suatu paham yang menentang segala jenis perang dan menolak berpartisipasi dalam perang termasuk menolak profesi sebagai tentara atau polisi, paham pasifis yang dianut orang Kristen ini didasarkan pada pribadi Yesus yang anti kekerasan dan tidak percaya pada efektifitas pembalasan hukum jus talionis (“mata ganti mata, gigi ganti gigi”). Pasifisme yang dianut oleh Yesus membedakan sikap politisNya dari kelompok zelot yang mengangkat pedang untuk menegakkan keadilan, penolakan terhadap pendekatan kekerasan yang dilakukan oleh Yesus ini mengakibatkan Yesus harus membayar harga keadilan dan kedamaian tadi melalui salib dan kematian. Pendekatan semacam ini pada masa sekarang masih kuat dipertahankan oleh gereja-gereja yang menyebut dirinya “peace churches”: Mennonite, Quaker, Brethren, dll. Ada 3 macam sikap pasifis lainya yaitu:
· Pasifis prinsip yang menolak segala macam perang dan segala alasan yang membenarkan perang apa pun hasil/prospeknya, bila perlu mengorbankan diri
· Pasifis pragmatis yang menolak pendekatan perang karena alasan efektifitas
· Pasifis selektif yang menolak jenis perang tertentu (missal perang dengan senjata nuklir) karena jelas-jelas tidak efektif.
Namun muncul permasalahan dari sikap pasifisme ini yaitu apakah pasifisme merupakan sikap warganegara yang bertanggungjawab dalam dunia yang tidak selalu damai? Dapatkah kita hidup damai tanpa kehadiran militer dalam segala situasi? Sebagai orang Kristen kita bisa memandang sikap pasifisme ini sebagai sebuah panggilan khusus (seperti selibat) bukan untuk semua orang. Karena bagaimanapun juga sikap pasifis ini memiliki keuntungan yaitu untuk menjaga isyu-isyu perdamaian menjadi kepedulian dan prioritas publik, Sebagai kontribusi bagai perdebatan mengenai perang dan damai dan untuk mengingatkan dunia yang tidak damai bahwa perang pada dasarnya adalah jahat.

1.3 Perspektif Kerajaan Allah di Dunia
[3]Seperti apakah kerajaan Allah yang hadir di bumi? Tidak ada yang akan pernah bisa mendifinisikan kerajaan Allah secara pasti bentuk dan modelnya seperti apa, karena kerajaan Allah ini bukanlah sekedar soal makanan, dan minuman tetapai kebenaran, damai sejahtra, dan sukacita oleh roh kudus (Roma 14:17) yang bukan hanya sekedar didalam perasaan tetapi kenyataan yang harus diwujudkan di dunia ini. Ketiga hal diatas bisa kita katakan sebagai dasar dari nilai-nilai kerajaan Allah, namun seperti apa nilai-nilai itu, kita akan melihat satu per satu.
Kebenaran/keadilan dalam konsep biblis paling tepat diterjemahkan dengan “hubungan yang benar”. Hubungan itu memiliki empat arah yaitu kepda Allah, kepada diri sendiri, kepada sesama baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat. Berlaku adil berarti pertama-tama menghargai semua hubungan anatara seorang dengan yang lain, terutama dalam keluarga, suku, di dalam Negara, di dalam dunia dan ciptaan. Keadilan dapat tercipta apabila setiap orang dihargai dan diperlakukan secara benar di dalam masyarakat.
Damai sejahatera, di dalam Perjanjian Lama diterjemahkan dengan kata “shalom” yang berasal dari bahasa Ibrani singkatnya damai dalam bahasa Ibrani berarti sejahtera, rukun, selaras, sepenuhnya termasuk di dalam empat basis hubungan kita : dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan alam, dan dengan Allah. Shalom adalah keadaan paripurna dan merupakan pemberian mulia di akhir zaman. Itu berati shalom bukan hanya berarti tidak ada perang, melainkan kepenuhan hidup. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru damai diartikan lebih dekat dengan hubungan yang benar dengan Allah atau dengan Kristus. Dimensi vertikal dari damai, dekat maknanya dengan kerukunan kembali dan keserasian.
Damai adalah tindakan Allah untuk membaharui umat untuk memiliki hubungan yang benar dengan diriNya (Roma 5:1 ; Kis 10:36). Damai sebagai hubungan baik diantara manusia adalah perluasan logis dan alamiah dari makna yang dikemukakan diatas tadi. Hubungan yang benar dengan Allah menghasilkan hubungan yang baik di antara manusia. Hidup dalam damai, secara positif artinya hidup dalam keselarasan, sedangkan secara negatif berarti menyingkirkan setiap tindakan yang dapat menyebabkan ketidakserasian atau pertikaian.
Sukacita, secara kongkret berarti memberi kepada setiap orang ruang untuk berkembang dan menjadi kreatif menurut kemampuan dan bakat masing-masing orang. Karena dipahami secara holistik, yakni memasukkan semua aspek eksistensi manusia, maka sukacita itu menunjuk ke dunia ini yang sekarang ini mengenai apa yang disebut “soal-soal hak asasi manusia”. Setiap mahluk mempunyai hak untuk hidup di bumi ini, dunia yang telah Tuhan berikan kepada kita sebagai warisan umum untuk mengalami sukacita dan untuk mengambil bagian di dalam kekayaannya.

1.4 Refleksi Teologis
Merujuk pada tiga hal yang menjadi nilai yang fundamental dari “kerajaan Allah” tadi kita sebagai orang kristen yang wajib mengusahakan terwujudnya “kerajaan Allah” tadi wajib untuk menjadi pembawa damai. [4]Memang kita tidak akan pernah berhasil untuk menciptakan suatu “utopia” di atas bumi, dan kerajaan Kristus yang universal selama sejarah. Sebelum kedatangan Kristus yang kedua kalinya, maka pedang takkan ditempa menjadi mata bajak, dan tombak menjadi pisau pemangkas. Namun fakta ini sekali-kali tidak menyuruh kita untuk melipatgandakan jumlah pabrik pembuat pedang dan tombak. Apakah ramalan Yesus tentang bencana kelaparan yang akan datang, menghambat kita untuk berjuang bagi pemerataan distribusi makanan? Demikian juga ramalaNya tentang perang, takkan membuat kita untuk menghentikan segala usaha untuk menciptakan perdamaian. Allah adalah pembawa damai, Kristus juga. Dengan demikian, jika kita ingin menjadi anak-anak Allah dan murid-murid Kristus, maka kita pun juga harus menjadi pembawa damai.
Dari pemaparan diatas jelaslah sudah bagaimana kita harus bersikap terhadap isu perang, jelas sebagai anak-anak Allah dan murid-murid Kristus kita harus tetap berusaha untuk menghadirkan kerajaan Allah yang berdasar pada kebenaran/keadilan, damai sejahtera, dan sukacita meski hal ini tidak akan pernah bisa kita wujudkan secara utuh sampai kedatanganNya yang kedua nanti, sikap inilah yang harus kita gunakan untuk menyikapi isu perang yang ditebarkan dalam media film “Fitnah” kita jangan semata-mata hanya melihat dengan emosi yang kita miliki sebagai seorang manusia, namun kita juga harus melihat dengan pertimbangan bahwa kita adalah murid-murid Kristus yang adalah juru damai, singkat kata kita bersikap pasifis dalam menyikapi isu perang itu tapi tidak hanya berhenti disitu namun kita lanjutkan dengan suatu usaha untuk mentransformasikan isu perang menjadi kedamaian dengan mewujudkan suatu hubungan yang baik dan harmonis sehingga tercipta sebuah keselarasan dalam bermasyarakat, dan bernegara.
Lalu bagaimana dengan sisi kemanusiaan kita yang jelas tidak terima jika kepentingan kita dinjak-injak? Dalam hal ini, kita harus meniru teladan [5]Yesus yang “berkuasa melalui kelemahan” . Keberadaan kita sebagai manusia, adalah lemah baik itu adalah lemah secara jasmani maupun rohani kita mudah terpancing dan terjebak dalam keinginan dan emosi sesaat, untuk hal ini marilah kita melihat mengapa Yesus memilih metode berkuasa melalui kelemahan, “kuasa Allah adalah melalui dia yang tersalib” dialektik ini yang diungkapkan secara istimewa oleh nyanyian Kristologis dalam Filipi 2:8-9 “Ia telah merendahkan diri-Nya...sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia...”. “itulah sebabnya”, bukan “namun demikian” atau “sesudah itu” Allah meninggikan Dia. Kita tidak boleh mentransformasikan ini menjadi suatu kejayaan dalam mana Kristus melampaui tahap yang terdahulu sebagai pelayan dan hamba yang menderita. Sebaliknya ia dijadikan Tuhan justru dalam keadaannya sebagai pelayan. Dan sebagai Tuhan Ia melanjutkan pelayananNya, singkat cerita ia memilih untuk lemah secara fisik dengan disalibkan untuk kemudian bangkit dan berkuasa sebagai Tuhan. Begitu juga kita, kita dituntut untuk mampu untuk mengusahakan suatu jalan yang lebih utama ketimbang hanya mengandalkan emosi kita saja dalam menerima segala cobaan.
Di dalam film “fitnah” sangat kental terasa unsur perbedaan agama ditonjolkan sebagai pemicu peperangan, apakah memang benar perbedaan agama yang menyebabkan permasalahan atau “mereka” yang tidak bisa mengerti dan mengakui adanya pluralisme agama-agama? [6]Agama pada dasarnya lebih merupakan suatu hubungan antara Allah dan manusia itu. Di dalam konteks kehidupan manusia di dalam paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang hidup bersama-sama didalam struktur sosial politik dan kebudayaan bersama, dimana Allah memanggil dan diri atau pribadi manusia itu menjawab. Di dalam konteks kehidupan modern seperti saat ini, kita memang harus mengakui bahwa kita hidup di tengah berbagai kemajemukan termasuk perihal beragama. Agama dalam konteks seperti ini haruslah berperan sebagai suatu kekuatan kenabian yang menafsirkan kehendak Allah di dalam kehidupan manusia. Dimana ada banyak agama, maka agama-agama itu harus memainkan peran kenabian ini dengan satu sama lain berdialog. Kita tidak mendukung suatu masyrakat yang sekuler tanpa agama atau juga kelompok keagamaan yang fundamentalistik di mana agama menjadi suatu kekuatan politik. Malah tugas panggilan kita dalam bidang keagamaan bukan hanya untuk menyaksikan iman kita dengan giat, tetapi juga untuk memperlakukan orang-orang percaya lainnya dengan hormat dan terbuka dan bekerja sama dengan mereka di dalam kegiatan-kegiatan sosial, budaya, dan politik, misalnya memajukan pembangunan dan perdamaian, kebebasan dan hak asasi manusia, jelaslah sekarang bahwa kita tidak hanya memiliki suatu tugas panggilan untuk menyaksikan iman kita tetapi juga suatu tanggung jawab sebagai anggota-anggota suatu persekutuan umat manusia.
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa agama bukanlah suatu pemicu dari timbulnya konflik mengingat hakikatnya yang paling fundamentalis, lalu kita selaku manusia yang menjalankan agama tersebut seharusnya tidak terjebak pada keeksklusifan iman kita sendiri melainkan hidup bersosialisasi dan saling bekerja sama dalam segala bidang dengan orang-orang percaya lainnya guna kepentingan kita bersama.
[1] Lihat John Stott, Isu-Isu Global: Menentang Kepemimpinan Kristiani hal 113-114.
[2] Lihat John Stott, Isu-Isu Global Menentang Kepemimpinan Kristiani, hal 111.
[3] Lihat John Fuellenbach, Kerajaan Allah : Pesan inti ajaran Yesus bagi dunia modern, hal 219- 240.
[4] Lihat John Stott, Isu-Isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani, hal 145.
[5] Lihat Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia, Hal 355.
[6] Lihat R. S. Sugirthrajah, Wajah Yesus di Asia, hal 141.

Kamis, 06 November 2008

Lestarilah Alamku

( Suatu Penelitian dan Tinjauan Etis Teologis atas Permasalahan Pencemaran Lingkungan Yang Terfokus pada Masalah Polusi Udara yang Diakibatkan Oleh Gejala Alam dan Komponen-Komponen Lainnya dari Gas Pembuangan Kendaraan Bermotor)

PENDAHULUAN

Lingkungan hidup terdiri dari berbagai macam unsur alam, air, tanah, udara dll salah satu yang paling dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup adalah udara, karena jelas bahwa manusia butuh untuk bernafas menghirup udara segar, lalu bagaimana jika salah satu dari unsur lingkungan hidup ini rusak, apakah manusia mampu bertahan hidup? Seperti yang kita saksikan pada kenyataan seperti sekarang ini manusia terus menerus melakukan polusi udara dalam berbagai cara, namun hal ini menjadi sebuah dilema yang berkelanjutan entah seperti apa kelanjutannya nanti pada akhir zaman. Karya tulis ini bermaksud untuk memberikan kajian etis teologis atas permasalahan ini selain itu di dalamnya akan juga disajikan pemaparan teori tentang pengertian dasar dari pencemaran udara, peneyebabnya, dan komponen pencemar udara serta usaha penanggulangannya. Dan tentunya tinajuan etika lingkungan hidup dan pada bagian akhir akan ditutup dengan refleksi teologis atas permasalahan lingkungan hidup ini.

1. Isi
1.1 Pengertian Dasar Pencemaran Udara
[1]Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama, akan dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan dan binatang. Bila udara keadaan seperti tersebut terjadi maka udara dikatakan telah tercemar! Kenyamanan hidup terganggu!
Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Udara adalah juga atmosfir yang berada di sekeliling bumi yang fungsinya sangat penting bagi kehidupan di dunia ini. Dalam udara terdapat oksigen (O2) untuk bernafas, karbon dioksida untuk proses fotosintesis oleh khlorofil daun dan ozon (O3) untuk menahan sinar ultra violet. Susunan (komposisi) udara bersih dan kering kira-kira tersusun oleh:
Nitrogen (N2) = 78,09 % volume
Oksigen (O2) = 21,94 %
Argon (Ar) = 0, 93 %
Karbon dioksida (CO2) = 0,032 %
Gas-gas lain yang terdapat dalam udara antara lain gas-gas mulia, nitrogen oksida, hidrogen, methana, belerang dioksida, amonia dan lain-lain. Susunan udara bersih dan kering secara lengkap dapat dilihat di pembahasan atas. Apabila susunan udara mengalami perbuhan dari susunan keadaan normal seperti tersebut di atas dan kemudian mengganggu kehidupan manusia, hewan dan binatang, maka berarti udara telah tercemar.

1.2 Penyebab Pencemaran Udara
[2]Pembangunan yang berkembang pesat saat ini, khususnya dalam industri dan teknologi, serta meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak) menyebabkan udara yang kita hirup di sekitar kita menjadi tercemar oleh gas-gas buangan hasil pembakaran. Secara umum penyebab pencemaran udara ada 2 macam, yaitu:
A. karena faktor internal (secara alamiah), contoh:
1.Debu yang berterbangan akibat tiupan angin.
2. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gas-gas vulkanik.
3. Proses pembakaran sampah organik, dll.
B. karena faktor eksternal (karena ulah manusia), contoh:
1. Hasil pembakaran bahan bakar fosil (minyak).
2. Debu/serbuk dari kegiatan industri.
3. Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara.
Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran dari suatu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan atau gas yang masuk terdispersi ke udara dan kemudian menyebar ke lingkungan sekitarnya. Kecepatan penyebaran ini sudah barang tentu akan tergantung pada keadaan geografi dan meteorologi setempat.
Udara bersih yang kita hirup merupakan gas yang tidak tampak, tidak berbau, tidak berwarna maupun berasa. Akan tetapi udara yang benar-benar bersih sudah benar-benar sulit untuk diperoleh, terutama di kota-kota besar yang banyak industrinya dan padat lalu-lintasnya. Udara yang tercemar dapat merusak lingkungan dan kehidupan manusia. Terjadinya kerusakan lingkungan berarti berkurangnya (rusaknya) daya dukung alam yang selanjutnya akan mengurangi kulaitas hidup manusia, di banyak negara industri banyak dijumpai kasus penyakit yang erat kaitannya dengan pencemaran udara dan pencemaran-pencemaran lainnya.

1.3 Komponen Pencemar Udara
[3]Udara di daerah perkotaan yang mempunyai banyak kegiatan industri dan teknologi serta lalu lintas yang padat, udaranya relatif sudah tidak bersih lagi. Udara di daerah industri kotor terkena bermacam-macam pencemar. Dari beberapa macam komponen pencemar udara maka yang paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara adalah komponen berikut ini:
1. Karbon Monoksida (CO)
2. Nitrogen Oksida (NOx)
3. Belerang Oksida (SOx)
4. Hidro Karbon (HC)
5. Partikel (Particulate), dan lain-lain.

Komponen pencemar udara tersebut di atas bisa mencemari udara sendiri-sendiri, atau dapat pula mencemari udara secara bersama-sama. Jumlah komponen pencemar udara tergantung pada sumbernya. Sumber pencemar udara di Indonesia pada saat ini masih terus diteliti. Akan tetapi kalau dilihat prosentase komponen pencemar udara dari sumber transportasilah yang cukup berpengaruh (lihat tabel).
Perkiraan prosentase tersebut di atas dengan anggapan bahwa gas buangan dari hasil pembakaran yang keluar dari corong knalpot kendaraan transportasi memenuhi persyaratan teknis pembakaran yang benar. Apabila gas buangan yang keluar dari knalpot kendaraan berupa asap tebal berwarna hitam maka tentu saja prosentasi (HC) dan partikelnya akan jauh lebih besar dari perkiraan data tersebut pada tabel.

Komponen Pencemar
Prosentase
CO
70,50%
NOx
8,89%
SOx
0,88%
HC
18,34%
Partikel
1,33%
Total
100%


[4]Hal pencemaran udara ini memang benar-benar membuat masyarakat resah, dan cukup berpikir tentang bagaimana kelanjutan dunia ini jika suatu saat nanti pencemaran udara sudah benar-benar tidak dapat di tanggulangi lagi, seperti keterangan yang disampaikan secara spontan oleh bapak Hendra (seorang polantas, 47th) yang mengatakan bahwa ia sering merasakan bahwa udara semakin lama semakin panas dan lembab, lengket, udara yang seperti ini merusak kulit dan memiliki resiko yang tinggi untuk terkena penyakit kanker kulit. Ada lagi keterangan dari mas Rustam (seorang mahasiswa, 24th) yang mengatakan bahwa tingkat polusi di kota jogja ini semakin meningkat dan mungkin sebentar lagi menyamai kota-kota besar seperti Jakarta, Medan dll, contohnya saja pengguna kendaraan bermotor terus bertambah baik pendatang maupun warga asli jogja sendiri. Lain Rustam lain lagi keterangan dari bapak Darmaji (seorang pedagang asongan di terminal giwangan, 52th) yang mengatakan bahwa asap pembuangan dari kendaraan transportasi umum itu benar-benar menyesakkan dada dan membuat udara semakin panas saja. Begitulah mereka menyampaikan pendapat mereka secara spontan dan dengan gaya bahasa penyampain yang berbeda-beda tentunya.

1.4 Usaha Penanggulangan Pencemaran Udara
[5]Pokok-pokok penanggulangan pencemaran udara secara fundamental, dapat kita bagi dengan empat pendekatan yaitu:

1. Pendekatan Teknologis
Adalah suatu pendekatan yang teknologis lebih ditujukan kepada faktor sumber emisi beserta segala sesuatunya yang menjalin bersama-sama sebagai sub system. Misal seperti pengembangan berbagai-bagai “by-pass”, penggunaan kendaraan umum yang menggunakan bahan-bahan bakar yang relatif lebih sedikit emisi pencemarannya dll.
2. Pendekatan Planologis
Adalah suatu pendekatan yang ditujukan bagi pertataan lingkungan fisik kita, agar timbal balik dapat menghindarkan akibat-akibat merugikan yang dapat diperkirakan menimpa reseptor. Jelasnya lingkungan hidup kita harus dapat tertata sedemikian rupa melalui perencanaan dan implementasi planologis untuk menciptakan suatu lingkungan hidup (perkotaan) yang mampu menjamin rasa aman, nyaman, keindahan, maupun persayaratan- persyaratan hidup hygenis dan sosial yang lebih baik.
3. Pendekatan Administratif
Adalah suatu pendekatan yang akan mengikat semua pihak mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku karena berlakunya suatu ketentuan hukum (Law en forcement) terhadap masyarakat serta dibinanya ketentuan-ketentuan administratif oleh petugas-petugas maupun aparat pelaksana pemerintahan dengan seksama.
4. Pendekatan Edukatif
Setiap langkah yang perlu dikerjakan dan dierkembangkan untuk membina dan memberikan penerangan terus-menerus kepada masyarakat baik dalam rangka motivasi maupun membangkitkan kesadaran ikut memelihara kelestarian lingkungan hidup.

1.4 Etika dan Lingkungan Hidup
[6]Masalah yang sering menjadi kontroversi terhadap isu lingkungan hidup ini adalah pertumbuhan penduduk yang terus membengkak, ditambah lagi dengan menipisnya sumber daya yang terkandung dalam bumi dan disusul dengan perkembangan teknologi yang tak dapat dikendalikan lagi, ketiga faktor inilah, digabung dengan permasalahan persediaan makanan, penanaman modal dan polusi serta seluk beluknya yang serba pelik yang menjadi pergumulan utama orang kristen terhadap permasalah lingkungan hidup ini, lalu apa yang dapat disumbangkan orang kristen untuk mengatasi permasalahan ini? Yang bisa kita lakukan dalam jangka pendek sebenarnya mudah, yaitu dengan menanamkan dalam diri kita sendiri suatu kedisiplinan akan kelestarian lingkungan hidup, dan tentunya mau untuk berpartisipasi dalam usaha untuk melestarikan lingkungan
Karena jika kita ingin merujuk pada hal yang paling esensial sebenarnya bumi ini milik siapa sehingga kita harus merawat dan melestarikannya? Pertanyaan ini mudah kedengarannya, padahal tidak. Sebab, apa jawaban yang harus kita berikan? Jawaban pertama cukup gamblang. Itu diberikan dalam Mazmur 24:1 “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya” Allah adalah khalik, dan karena Ia yang menciptakannya, maka tentu Ia pula memilikiNya. Namun jawaban ini baru setengah dari jawabannya. Dalam Mazmur 115:16 kita baca: “Langit itu langit kepunyaan Tuhan, dan bumi itu telah diberikanNya kepada anak-anak manusia”. Jadi jawaban Alkitabiah yang lengkap atas pertanyaan kita ialah bahwa bumi milik Allah sekaligus miliki manusia. Milik Allah sebab Ia yang menciptakannya, milik kita sebab Ia teah memberikannya kepada kita. Tapi jelas bukan memberikannya kepada kita sedemikian tuntas sehingga Ia sama sekali tak punya hak dan tak punya kontrol lagi atasnya, melainkan memberikannya kepada kita supaya kita menguasainya atas nama Dia. Itulah sebabnya penguasaan kita atas bumi ini adalah berdasarkan hak pakai, bukan berdasarkan hak milik. Kita hanya penggarap saja, Allah sendiri tetap (dalam artinya yang paling harafiah) “Tuan tanahnya, Tuan atas semua tanah”
Kebenaran ganda ini (bahwa bumi milik Allah dan sekaligus juga milik kita) diuraikan lebih rinci dalam kitab kejadian 1 dan 2. dalam kejadia 1 muncul kata ‘tanah’ dan ‘bumi’.
Ayat 11, 12 : Berfirmanlah Allah, ‘Hendaklah tanah menumbuhkan tumbuh-t umbuhan’... Dan jadilah demikian. Tanah itu menumbuhkan tumbuh-tumbuhan...
Ayat 24 : Berfirmanlah Allah, ‘Hendaklah bumi mengeluarkan segala jenis mahhluk’... dan jadilah demikian.
Ayat 26 : Berfirmanlah Allah. ‘Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar kita... supaya mereka berkuasa... atas seluruh bumi’
Ayat 28 : Allah memberkati mereka, dan berfirmanlah kepada mereka, ‘...penuhilah bumi dan taklukanlah itu’.
Ada tiga penegasan yang dapat kita simpulkan dari bahan Alkitabiah ini. Pertama Allah memberikan kekuasaan atas bumi. Kedua kekeuasaan kita atas bumi adalah suatu kekuasaan yang koperatif, dan ketiga pendominasian kita adalah pemberian, karena itu suatu pendominasian yang bertanggung jawab.
Jadi jika kekuasaan atas bumi ini dengan demikian yang di delegasikan kepada kita oleh Allah, dalam rangka suatu kerja sama dengan Dia dan pembagian hasil dengan orang lain, maka kita pun harus bertanggung jawab kepada Dia atas caranya kita mengelola bumi ini. Kita tidak berhak memperlakukan lingkungan alami kita semau kita, kita tidak berhak untuk berbuat semau kita. “mengusai” bukanlah sinonim dari “merusak”. Karena bumi ini adalah yang dipercayakan kepada kita, maka kita harus mengelola serta memproduktifkannya secara bertanggung jawab demi kebaikan generasi kita dan generasi berikutnya.

1.5 Refleksi Teologis
Dalam refleksi kali saya akan mencoba untuk merefleksikan pengaruh modernisasi di bidang transportasi terhadap alam itu sendiri, seperti yang kita ketahui pada abad seperti sekarang ini berbagai fasilitas transportasi tersedia dan beragam modelnya, contohnya mulai dari motor, mobil, perahu boat, pesawat terbang, dll semua fasilitas ini memang sangat membantu manusia dalam melakasanakan aktifitasnya.
Namun semua fasilitas – fasilitas ini ternyata memiliki dampak yang negatif terhadap alam lingkungan kita, namun hal ini belum disadari secara utuh oleh manusia sebagai pribadi yang hidup didalam alam itu sendiri. Salah satu efek yang paling terasa saat ini adalah kerusakan alam lingkungan kita yang diakibatkan oleh gas buangan dari alat transportasi tersebut. Pemakaian alat transportasi yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak) ini ternyata dampaknya sangat kontras dengan alam terutama bagi udara seperti telah dijelaskan di atas.
Contoh nyata atas permasalah polusi udara ini dapat kita lihat seperti pada keadaan kota Medan saat ini. Medan (Sumut) adalah kota sibuk, hampir semua penduduk di Medan memiliki alat transportasi yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak) seperti sepeda motor, mobil, dll semua alat transportasi ini menghasilkan gas buangan yang banyak sekali mengandung karbon monoksida, nitrogen oksida dll yang memiliki dampak yang negatif bagi manusia yang menghirupnya, dan alam lingkungan dimana dampaknya adalah udara yang setiap hari kita hirup itu akan banyak mengandung berbagai macam zat-zat yang dapat membahayakan kelangsungan hidup manusia, bayangkan saja 30 thn kedepan bagaimana bumi ini jika udara di bumi terus tercemari oleh zat-zat yang membuat kita tidak dapat bernafas dengan lega, apakah kita masih bisa bertahan hidup?.
Selain fasilitas – fasilitas yang ada, salah satu faktor lain yang dapat mengancam alam juga adalah populasi yang terus meningkat tajam. Contoh untuk kasus ini adalah kota Jakarta yang adalah juga ibu kota republik Indonesia kita tahu bahwa Jakarta saat ini sangat padat akan penduduk, banyak penduduk dari desa melakukan urbanisasi ke kota dengan tujuan untuk mencari penghasilan di ibu kota, sebenarnya hal ini tidak akan menjadi masalah, jika urbanisasi yang dilakukan itu sejalan dengan penataan sistem kependudukan yang jelas oleh pemerintah setempat, lalu juga penyediaan lapangan pekerjaan yang cukup untuk semua warga kota setempat. Tapi dalam kenyataan yang ada saat ini kita dapat meihat bahwa Jakarta adalah kota yang padat, panas, banyak pengangguran, dan yang paling memprihatinkan adalah semakin tingginya tingkat kriminalitas di jakarta.
Dalam kaitannya dengan pemabahasan tema diatas pertanyaanya adalah bagaimana alam ini dapat terus berlangsung, jika manusia yang terus bertambah tingkat populasinya tadi terus memenuhi alam yang semakin lama semakin sempit dan di tambah lagi dengan polusi yang semakin tidak terkendali. Disambung lagi dengan kelakuan setiap manusia yang terkadang kurang peduli pada alam sekitar, contoh membuang sampah sembarangan, menebang hutan sembarangn dll. Bayangkan apa yang terjadi ketika lapizan ozon di bumi ini sudah tidak tersedia lagi akibat fasilitas – fasilitas yang tersedia dibumi tadi dan akibat populasi manusia yang terus bertambah dll?, lalu bayangkan juga jika seluruh hutan di bumi ini gundul akibat ditebang secara liar oleh manusia – manusia yang tidak bertanggung jawab, apakah masih ada kehidupan di bumi ini?.
Manusia dan alam adalah hal yang sangat erat kaitannya, pada hakikatnya manusia hidup didalam alam dan alam menghidupi manusia, di dalam alam, manusia melakukan suatu kooeralasi yang harmonis, saling berkaitan antara alam dan manusia. Alam dapat memberikan kita sesuatu yang menguntungkan namun juga dapat mencelakakan apabila kita tidak mampu untuk memelihara alam tersebut.
Kita sekarang harus ingat sekali lagi bahwa Allah telah memeberika kita alam ini untuk kita, namun tidak dalam artian bahwa kita berhak untuk sewenang-wenang terhadap alam ini karena kepemilikan kita pada alam ini hanya sebagai penggarap, dan yang mempunyai tetap adalah Allah itu sendiri karena Ia yang menciptakan semua ini, dan dari kita Ia menuntut agar kita mengelola alam ini, ‘menguasainya’ bukan dalam artian ‘merusak’ demi kemuliaan namaNya di bumi dan demi terus berlangsungnya keturunan manusia di bumi.
Allah memberi kelimpahan ciptaan pada manusia dan mengundangnya untuk mengambil bagian dalam penyempurnaan ciptaan dan sudah sepatutunya reaksi manusia ialah reaksi bahagia, puji sykukur dan memanfaatkan alam ini sebagai selayaknya seorang sahabat, dimana ada suatu hubungan yang harmonis dan selaras serta saling menguntungkan antara manusia dengan alam itu sendiri bukan menganggap alam itu sebagai “ benda “ yang hanya untuk sekedar digunakan, dan dimanipulasi.
Bukan saatnya lagi kita mencari siapa yang bersalah atas kerusakan alam ini, namun sekarang saatnya untuk sadar bahwa alam adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada kita bersama dan wajib untuk kita rawat bersama juga, kita bisa memulai untuk merawat alam dari hal yang sangat sederhana seperti tidak membuang sampah sembarangan, dan membuangnya di tempat sampah, terus meningkat dengan cara penanaman ulang bibit-bibit pohon yang ditebang secara liar, ‘satu tangan menanam, maka satu pohon tumbuh’, apalagi jika seluruh rakyat Indonesia dan bumi ini menanam pohon maka akan banyak juga pohon yang tumbuh.

DEI GRATIA...



[1] Lihat Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pencemaran Lingkungan, hal 27
[2] Lihat Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pencemaran Lingkungan, hal 28
[3] Lihat Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pencemaran Lingkungan, hal 31
[4] Wawancara dilakukan pada tanggal 5 mei, di tempat yang berbeda-beda, hasil wawancara yang dituliskan adalah penyederhanaan dari keterangan yang sebenarnya, dengan tujuan untuk mempertajam pembahasan dalam karya tulis ini.
[5] Lihat Slamet Riyadi, Pencemaran Udara hal 113
[6] Lihat John Stott, Isu-Isu Global: Menentang Kepemimpinan Kristiani, hal 150-156