Apakah Harus Berperang
(suatu tinjauan etis teologis)
PENDAHULUAN
Adakah sebuah kedamaian di dalam dunia medern seperti saat sekarang ini? Baru-baru ini telah beredar sebuah film singkat yang berjudul “Fitnah” di media internet isinya sungguh mengiris hati, dimana sepanjang film itu mengungkap peristiwa-peristiwa mengenai peperangan dan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun sadar atau tidak sebenarnya film ini sangat kental terasa unsur profokasi untuk melakukan peperangan, dengan kata lain isi film ini ingin mengadu domba antara orang Kristen dan islam lalu bagaimanakah kita harus bersikap atas profokasi dari film ini? Apakah harus berperang, demi membalas sakit hati atau ?. Karya tulis ini ingin menanggapi isu perang yang ditebarkan oleh film “Fitnah” dalam kacamata agama dan etika Kristen ? Adapun di dalamnya akan ikut disajikan, berbagai jenis pendekatan dalam perang? dan apakah sikap orang kristen terhadap isu perang, dan selain itu kita akan coba melihat bagaimana sebenarnya perspektif kerajaan Allah di bumi yang seharusnya diemban oleh orang kristen untuk diusahakan sebagai salah satu jalan keluar dari isu perang. Dan pada bagian akhir akan ditutup dengan refleksi teologis.
1. Isi
1.1 Suatu Pendekatan dalam Perang
Tahukah anda bahwa ternyata perang juga memiliki prosedur atau pendekatan, seperti halnya sebuah penelitian, mungkin orang awam tidak akan mengerti hal ini, apalagi orang yang sedang berperang? Namun ternyata memang ada hal seperti itu salah satu pendekatan dalam perang itu kita sebut dengan “perang suci” (“crusades”), sebenarnya bagaimanakah jenis perang yang seperti ini? Filosofi perang jenis ini ingin untuk menjalankan perang sebagai misi suci atau perintah ilahi. Perang jenis ini ternyata pernah juga dilakukan oeh gereja, yang dilakukan demi membasmi “para penyesat” dan musuh gereja, perang jenis ini juga pernah terjadi untuk merebut kembali Yerusalem dari pendudukan Islam (abad 11,12,13: perang salib). Perang jenis ini dilakukan oleh gereja mungkin karena terinspirasi dari kisah-kisah peperangan dalam Perjanjian Lama, yang mengatasnamakan demi dan bersama Allah. hal ini juga yang mungkin memicu orang-orang muslim untuk melakukan perang atau yang lebih kita kenal dengan nama “Jihad”. Pendekatan perang yang seperti ini ternyata dalam perspektif etika kristen mengabaikan nilai-nilai yang esensial dari injil, dan hal ini juga menunjukkan adanya pergeseran injil oleh pertimbangan politis yang lebih primitif dalam gereja.
Ada lagi jenis pendekatan perang yang lain yaitu [1]“perang adil” (“just war”) pendekatan perang jenis ini membenarkan perang terjadi jika hal itu adalah pilihan terakhir, pendekatan perang jenis ini memiliki syarat sebelum dilakukan yaitu Mempunyai alasan kuat yang berkeadilan (jus ad bellum) dan Menggunakan peralatan dan cara-cara yang adil (jus in bello) dan hasilnya harus dapat diperkirakan. Pendekatan perang jenis ini sebenarnya tidak berasal dari tradisi Kristen namun dari filsafat Yunani (Plato, Aristoteles) yang diawali dari munculnya kebutuhan untuk melindungi negara/kota yang kemudian diteruskan oleh bangsa romawi guna kebutuhan untuk mengendalikan dan mengatur ekspansi kekaisaran. Ada beberapa masalah dalam tradisi perang adil antara lain Bagaimana kalau kriteria “adil” berbeda bagi pihak-pihak yang berperang? Benarkah prospek keberhasilan suatu perang dapat dipastikan? Bagaimana menentukan bahwa kita telah sampai pada pilihan terakhir? Bagaimanakah kesesuaian antara praktik perang adil dengan tema-tema Perjanjian Baru mengenai kemenangan melalui salib, “mengasihi musuh” dsb? Hal inilah yang menimbulkan perdebatan dalam tubuh gereja yang hingga saat ini masih berlangsung.
Apapun jenis pendekatan yang dipakai dalam perang menurut hemat penulis perang tidaklah dapat untuk dibenarkan, karena sejatinya perang selalu menimbulkan pernderitaan disalah satu pihak yang kalah dari peperangan, dampak yang ditimbulkan inilah yang tidak mungkin dapat digantikan dengan hanya sebuah pendekatan terhadap perang, namun bagaimana dengan orang yang mengalami langsung peperangan yang mengalami langsung ketegangan dalam sebuah peperangan seperti contoh kasus perang yang dilakukan oleh Tibo cs, apakah kita berhak untuk menghakimi orang yang berperang tersebut adalah salah? Sejatinya kita tidak berhak untuk menghakimi orang tersebut, karena bagaimanapun juga kita tidak merasakan bagaimana situasi dan keadaan orang tersebut hingga ia memutuskan untuk melakukan perang sebagai jalan keluar dari masalahnya, dan kita juga harus ingat bahwa setiap orang di dunia ini memiliki struktur kemasuk-akalan masing-masing terhadap suatu peristiwa dan kejadian yang tidak bisa dicampuri oleh siapapun. Yang bisa kita beri penilaian adalah peristiwa perang itu sendiri bukan orang yang melakukan perang.
1.2 Sikap orang Kristen terhadap Perang
Setiap agama pada dasarnya mendorong kehidupan yang damai dan menolak Perang serta kekerasan yang selalu tidak pernah dianggap baik. Meskipun demikian perang dan kekerasan harus kita akui sebagai bagian dari realitas kehidupan yang terkadang sukar dielakkan dan pada kenyataanya ternyata agama-agama tidak cukup berhasil untuk menghentikan atau mencegah terjadinya perang dalam kasus-kasus tertentu bahkan agama menjadi faktor pencetus terjadinya peperangan, faktor struktur kebudayaan juga dapat ikut mempengaruhi terjadinya sebuah peperangan, sadarkah kita bahwa sedari kanak-kanak kita sudah dibesarkan dengan struktur kebudayaan yang membanggakan kekerasan dan peperangan, sebagai contoh anak-anak yang gemar bermain permainan “perang-perangan”. Para pemuda dan orang tua yang menggemari film-film peperangan dan yang berbau kekerasan, tradisi “perploncoan” di lembaga pendidikan sebagai wujud dari kekerasan. Lalu bagaimanakah kita selaku orang Kristen bersikap terhadap kenyataan ini?
[2]Sikap umum yang sering dipertahankan oleh orang Kristen untuk menyikapi perihal perang ini yaitu “Paham Pasifisme” suatu paham yang menentang segala jenis perang dan menolak berpartisipasi dalam perang termasuk menolak profesi sebagai tentara atau polisi, paham pasifis yang dianut orang Kristen ini didasarkan pada pribadi Yesus yang anti kekerasan dan tidak percaya pada efektifitas pembalasan hukum jus talionis (“mata ganti mata, gigi ganti gigi”). Pasifisme yang dianut oleh Yesus membedakan sikap politisNya dari kelompok zelot yang mengangkat pedang untuk menegakkan keadilan, penolakan terhadap pendekatan kekerasan yang dilakukan oleh Yesus ini mengakibatkan Yesus harus membayar harga keadilan dan kedamaian tadi melalui salib dan kematian. Pendekatan semacam ini pada masa sekarang masih kuat dipertahankan oleh gereja-gereja yang menyebut dirinya “peace churches”: Mennonite, Quaker, Brethren, dll. Ada 3 macam sikap pasifis lainya yaitu:
· Pasifis prinsip yang menolak segala macam perang dan segala alasan yang membenarkan perang apa pun hasil/prospeknya, bila perlu mengorbankan diri
· Pasifis pragmatis yang menolak pendekatan perang karena alasan efektifitas
· Pasifis selektif yang menolak jenis perang tertentu (missal perang dengan senjata nuklir) karena jelas-jelas tidak efektif.
Namun muncul permasalahan dari sikap pasifisme ini yaitu apakah pasifisme merupakan sikap warganegara yang bertanggungjawab dalam dunia yang tidak selalu damai? Dapatkah kita hidup damai tanpa kehadiran militer dalam segala situasi? Sebagai orang Kristen kita bisa memandang sikap pasifisme ini sebagai sebuah panggilan khusus (seperti selibat) bukan untuk semua orang. Karena bagaimanapun juga sikap pasifis ini memiliki keuntungan yaitu untuk menjaga isyu-isyu perdamaian menjadi kepedulian dan prioritas publik, Sebagai kontribusi bagai perdebatan mengenai perang dan damai dan untuk mengingatkan dunia yang tidak damai bahwa perang pada dasarnya adalah jahat.
1.3 Perspektif Kerajaan Allah di Dunia
[3]Seperti apakah kerajaan Allah yang hadir di bumi? Tidak ada yang akan pernah bisa mendifinisikan kerajaan Allah secara pasti bentuk dan modelnya seperti apa, karena kerajaan Allah ini bukanlah sekedar soal makanan, dan minuman tetapai kebenaran, damai sejahtra, dan sukacita oleh roh kudus (Roma 14:17) yang bukan hanya sekedar didalam perasaan tetapi kenyataan yang harus diwujudkan di dunia ini. Ketiga hal diatas bisa kita katakan sebagai dasar dari nilai-nilai kerajaan Allah, namun seperti apa nilai-nilai itu, kita akan melihat satu per satu.
Kebenaran/keadilan dalam konsep biblis paling tepat diterjemahkan dengan “hubungan yang benar”. Hubungan itu memiliki empat arah yaitu kepda Allah, kepada diri sendiri, kepada sesama baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat. Berlaku adil berarti pertama-tama menghargai semua hubungan anatara seorang dengan yang lain, terutama dalam keluarga, suku, di dalam Negara, di dalam dunia dan ciptaan. Keadilan dapat tercipta apabila setiap orang dihargai dan diperlakukan secara benar di dalam masyarakat.
Damai sejahatera, di dalam Perjanjian Lama diterjemahkan dengan kata “shalom” yang berasal dari bahasa Ibrani singkatnya damai dalam bahasa Ibrani berarti sejahtera, rukun, selaras, sepenuhnya termasuk di dalam empat basis hubungan kita : dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan alam, dan dengan Allah. Shalom adalah keadaan paripurna dan merupakan pemberian mulia di akhir zaman. Itu berati shalom bukan hanya berarti tidak ada perang, melainkan kepenuhan hidup. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru damai diartikan lebih dekat dengan hubungan yang benar dengan Allah atau dengan Kristus. Dimensi vertikal dari damai, dekat maknanya dengan kerukunan kembali dan keserasian.
Damai adalah tindakan Allah untuk membaharui umat untuk memiliki hubungan yang benar dengan diriNya (Roma 5:1 ; Kis 10:36). Damai sebagai hubungan baik diantara manusia adalah perluasan logis dan alamiah dari makna yang dikemukakan diatas tadi. Hubungan yang benar dengan Allah menghasilkan hubungan yang baik di antara manusia. Hidup dalam damai, secara positif artinya hidup dalam keselarasan, sedangkan secara negatif berarti menyingkirkan setiap tindakan yang dapat menyebabkan ketidakserasian atau pertikaian.
Sukacita, secara kongkret berarti memberi kepada setiap orang ruang untuk berkembang dan menjadi kreatif menurut kemampuan dan bakat masing-masing orang. Karena dipahami secara holistik, yakni memasukkan semua aspek eksistensi manusia, maka sukacita itu menunjuk ke dunia ini yang sekarang ini mengenai apa yang disebut “soal-soal hak asasi manusia”. Setiap mahluk mempunyai hak untuk hidup di bumi ini, dunia yang telah Tuhan berikan kepada kita sebagai warisan umum untuk mengalami sukacita dan untuk mengambil bagian di dalam kekayaannya.
1.4 Refleksi Teologis
Merujuk pada tiga hal yang menjadi nilai yang fundamental dari “kerajaan Allah” tadi kita sebagai orang kristen yang wajib mengusahakan terwujudnya “kerajaan Allah” tadi wajib untuk menjadi pembawa damai. [4]Memang kita tidak akan pernah berhasil untuk menciptakan suatu “utopia” di atas bumi, dan kerajaan Kristus yang universal selama sejarah. Sebelum kedatangan Kristus yang kedua kalinya, maka pedang takkan ditempa menjadi mata bajak, dan tombak menjadi pisau pemangkas. Namun fakta ini sekali-kali tidak menyuruh kita untuk melipatgandakan jumlah pabrik pembuat pedang dan tombak. Apakah ramalan Yesus tentang bencana kelaparan yang akan datang, menghambat kita untuk berjuang bagi pemerataan distribusi makanan? Demikian juga ramalaNya tentang perang, takkan membuat kita untuk menghentikan segala usaha untuk menciptakan perdamaian. Allah adalah pembawa damai, Kristus juga. Dengan demikian, jika kita ingin menjadi anak-anak Allah dan murid-murid Kristus, maka kita pun juga harus menjadi pembawa damai.
Dari pemaparan diatas jelaslah sudah bagaimana kita harus bersikap terhadap isu perang, jelas sebagai anak-anak Allah dan murid-murid Kristus kita harus tetap berusaha untuk menghadirkan kerajaan Allah yang berdasar pada kebenaran/keadilan, damai sejahtera, dan sukacita meski hal ini tidak akan pernah bisa kita wujudkan secara utuh sampai kedatanganNya yang kedua nanti, sikap inilah yang harus kita gunakan untuk menyikapi isu perang yang ditebarkan dalam media film “Fitnah” kita jangan semata-mata hanya melihat dengan emosi yang kita miliki sebagai seorang manusia, namun kita juga harus melihat dengan pertimbangan bahwa kita adalah murid-murid Kristus yang adalah juru damai, singkat kata kita bersikap pasifis dalam menyikapi isu perang itu tapi tidak hanya berhenti disitu namun kita lanjutkan dengan suatu usaha untuk mentransformasikan isu perang menjadi kedamaian dengan mewujudkan suatu hubungan yang baik dan harmonis sehingga tercipta sebuah keselarasan dalam bermasyarakat, dan bernegara.
Lalu bagaimana dengan sisi kemanusiaan kita yang jelas tidak terima jika kepentingan kita dinjak-injak? Dalam hal ini, kita harus meniru teladan [5]Yesus yang “berkuasa melalui kelemahan” . Keberadaan kita sebagai manusia, adalah lemah baik itu adalah lemah secara jasmani maupun rohani kita mudah terpancing dan terjebak dalam keinginan dan emosi sesaat, untuk hal ini marilah kita melihat mengapa Yesus memilih metode berkuasa melalui kelemahan, “kuasa Allah adalah melalui dia yang tersalib” dialektik ini yang diungkapkan secara istimewa oleh nyanyian Kristologis dalam Filipi 2:8-9 “Ia telah merendahkan diri-Nya...sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia...”. “itulah sebabnya”, bukan “namun demikian” atau “sesudah itu” Allah meninggikan Dia. Kita tidak boleh mentransformasikan ini menjadi suatu kejayaan dalam mana Kristus melampaui tahap yang terdahulu sebagai pelayan dan hamba yang menderita. Sebaliknya ia dijadikan Tuhan justru dalam keadaannya sebagai pelayan. Dan sebagai Tuhan Ia melanjutkan pelayananNya, singkat cerita ia memilih untuk lemah secara fisik dengan disalibkan untuk kemudian bangkit dan berkuasa sebagai Tuhan. Begitu juga kita, kita dituntut untuk mampu untuk mengusahakan suatu jalan yang lebih utama ketimbang hanya mengandalkan emosi kita saja dalam menerima segala cobaan.
Di dalam film “fitnah” sangat kental terasa unsur perbedaan agama ditonjolkan sebagai pemicu peperangan, apakah memang benar perbedaan agama yang menyebabkan permasalahan atau “mereka” yang tidak bisa mengerti dan mengakui adanya pluralisme agama-agama? [6]Agama pada dasarnya lebih merupakan suatu hubungan antara Allah dan manusia itu. Di dalam konteks kehidupan manusia di dalam paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang hidup bersama-sama didalam struktur sosial politik dan kebudayaan bersama, dimana Allah memanggil dan diri atau pribadi manusia itu menjawab. Di dalam konteks kehidupan modern seperti saat ini, kita memang harus mengakui bahwa kita hidup di tengah berbagai kemajemukan termasuk perihal beragama. Agama dalam konteks seperti ini haruslah berperan sebagai suatu kekuatan kenabian yang menafsirkan kehendak Allah di dalam kehidupan manusia. Dimana ada banyak agama, maka agama-agama itu harus memainkan peran kenabian ini dengan satu sama lain berdialog. Kita tidak mendukung suatu masyrakat yang sekuler tanpa agama atau juga kelompok keagamaan yang fundamentalistik di mana agama menjadi suatu kekuatan politik. Malah tugas panggilan kita dalam bidang keagamaan bukan hanya untuk menyaksikan iman kita dengan giat, tetapi juga untuk memperlakukan orang-orang percaya lainnya dengan hormat dan terbuka dan bekerja sama dengan mereka di dalam kegiatan-kegiatan sosial, budaya, dan politik, misalnya memajukan pembangunan dan perdamaian, kebebasan dan hak asasi manusia, jelaslah sekarang bahwa kita tidak hanya memiliki suatu tugas panggilan untuk menyaksikan iman kita tetapi juga suatu tanggung jawab sebagai anggota-anggota suatu persekutuan umat manusia.
Dari pemaparan diatas jelaslah bahwa agama bukanlah suatu pemicu dari timbulnya konflik mengingat hakikatnya yang paling fundamentalis, lalu kita selaku manusia yang menjalankan agama tersebut seharusnya tidak terjebak pada keeksklusifan iman kita sendiri melainkan hidup bersosialisasi dan saling bekerja sama dalam segala bidang dengan orang-orang percaya lainnya guna kepentingan kita bersama.
[1] Lihat John Stott, Isu-Isu Global: Menentang Kepemimpinan Kristiani hal 113-114.
[2] Lihat John Stott, Isu-Isu Global Menentang Kepemimpinan Kristiani, hal 111.
[3] Lihat John Fuellenbach, Kerajaan Allah : Pesan inti ajaran Yesus bagi dunia modern, hal 219- 240.
[4] Lihat John Stott, Isu-Isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani, hal 145.
[5] Lihat Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia, Hal 355.
[6] Lihat R. S. Sugirthrajah, Wajah Yesus di Asia, hal 141.
mengapa aku yakin yang aku percayai benar?
16 tahun yang lalu
2 komentar:
Akhirnya kesampaian juga mampir.
Oke deh sudah ada hal standart: pic n artikel. Sukses ya!
tabik,
esl
Kok tidak ada petunjuk mengenai ur "real name" ? Blog sapa nih?
Posting Komentar